MAKALAH
“Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi”
Dalam persfektif Al-qur’an
Untuk
Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah “Filsafat Ilmu”
Dosen
Pembimbing :
Mustafa
M.Pd.I
Disusun Oleh
:
Rudini Harto
Jurusan/Prodi
:
Tarbiyah /
PAI 1
Semester 2
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Manado
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam. Salawat serta salam semoga dilimpahkan
kepada Rasulullah SAW.
Alhamdulilah kami dapat menyusun
makalah yang sederhana ini berkat pertolongan Allah SWT.
Makalah ini ditulis sebagai bahan
dasar pemikiran guna memenuhi pelengkap mata
kuliah Filsafat Ilmu dengan
judul”Pengertian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi”
Semoga dengan disusunnya makalah ini
kita semua dapat mengambil pelajaran didalamnya yang bisa meningkatkan
sumber daya manusia kita sekalian
Saya menyadari bahwa dalam menyusun
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kepada dosen
pembimbing, saya mengharap saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya saya sampaikan terima kasih
kepada dosen pembimbing. Semoga makalah ini bermanfaat. Amin
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Di
dalam pembahasan ini ada beberapa hal
yang harus dan perlu kita ketahui bahwa
dalam berbicara filsafat itu tidak lepas dari akal dan fikiran
Rumusan
2’Bagaimana Epistemologi dan Aksiologi dalm Al-Qur’an ?
2’Bagaimana Epistemologi dan Aksiologi dalm Al-Qur’an ?
3.Apa
pengertian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam persfektif Al-qur’an?
B.
Tujuan
Untuk
mengetahui dan memahami apa itu hakekat Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
menurut fersfektif Al-qur’anmaupun
pengertian secara umum, agar tidak ada kekeliruan dalam menanggapi 3 komponen
ilmu tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontology
Istilah ontology baru muncul pada pertengahan abad 17, yang pada waktu itu juga muncul istilah philosophia entis atau filsafat mengenai yang ada. Tapi sebagai pencarian jawaban menganai hakikat asal alam semesta, telah dipercakapkan sebelumnya oleh para filosof awal Yunani. Paling tidak, Thales, Anaximander dan Anaximenes yang berasal dari Miletus tercatat sebagai filosof yang berbicara mengenai hakikat segala sesuatu melalui usahanya untuk menjawab sumber segala sesuatu. Pembicaraan itu kemudian berlanjut hingga para fiosof Athena sampai kepada Aristoteles. Sebagian filosof sesudahnya menempatkan pembahasan masalah ontology sebagai pembahasan metafisika.
Ontology, sebagai sebuah istilah berasal dari bahasa Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berada), yang kemudian disenyawakan dengan kata logos (ilmu atau study tentang). Dalam bahasa Inggris ia diserap menjadi ontology dengan pengertian sebagai study atau ilmu mengenai yang ada atau berada.
Dalam kamus Filsafat Lorens Bagus terdapat beberapa Pengertian ontology antara lain:
1. Study tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari satu study tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “Apa itu Ada-dalam dirinya sendiri? “Apa hakikat Ada sebagai Ada?
2. Cabang filsafat yang menggeluti tata cara dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang-ada sebagai yang-ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terlahir, dasar.
3. Cabang filsafat yang mencoba:
a. Melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna).
b. Menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya.
c. Menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.
Objek kajian ilmu itu sendiri sesungguhnya dapat dibagi menjadi:
Objek materil: pembicaraan mengenai apa yang menjadi objek penyelidikan sehingga melahirkan ilmu mengenai objek tersebut.
Objek Formal: pembicaraan mengenai bagaimana pendekatan yang digunakan terhadap suatu objek ilmu.
Sebagai bahan perbandingan mengenai konsep ontology ilmu yang islami, mari kita lihat QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dari ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontology Ilmu yang Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk,
Olehnya itu, dapat ditarik kesimpulan tentang makna sesungguhnya ontology ketika kita coba menarik makna dari sudut pandang Islami sebagai mata rantai yang nyaris terlupakan dengan memberikan pengertian dasar Logos yang berarti Tuhan, jadi Ontologi disini mengandung pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan.
Istilah ontology baru muncul pada pertengahan abad 17, yang pada waktu itu juga muncul istilah philosophia entis atau filsafat mengenai yang ada. Tapi sebagai pencarian jawaban menganai hakikat asal alam semesta, telah dipercakapkan sebelumnya oleh para filosof awal Yunani. Paling tidak, Thales, Anaximander dan Anaximenes yang berasal dari Miletus tercatat sebagai filosof yang berbicara mengenai hakikat segala sesuatu melalui usahanya untuk menjawab sumber segala sesuatu. Pembicaraan itu kemudian berlanjut hingga para fiosof Athena sampai kepada Aristoteles. Sebagian filosof sesudahnya menempatkan pembahasan masalah ontology sebagai pembahasan metafisika.
Ontology, sebagai sebuah istilah berasal dari bahasa Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berada), yang kemudian disenyawakan dengan kata logos (ilmu atau study tentang). Dalam bahasa Inggris ia diserap menjadi ontology dengan pengertian sebagai study atau ilmu mengenai yang ada atau berada.
Dalam kamus Filsafat Lorens Bagus terdapat beberapa Pengertian ontology antara lain:
1. Study tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari satu study tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “Apa itu Ada-dalam dirinya sendiri? “Apa hakikat Ada sebagai Ada?
2. Cabang filsafat yang menggeluti tata cara dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang-ada sebagai yang-ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terlahir, dasar.
3. Cabang filsafat yang mencoba:
a. Melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna).
b. Menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya.
c. Menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.
Objek kajian ilmu itu sendiri sesungguhnya dapat dibagi menjadi:
Objek materil: pembicaraan mengenai apa yang menjadi objek penyelidikan sehingga melahirkan ilmu mengenai objek tersebut.
Objek Formal: pembicaraan mengenai bagaimana pendekatan yang digunakan terhadap suatu objek ilmu.
Sebagai bahan perbandingan mengenai konsep ontology ilmu yang islami, mari kita lihat QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dari ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontology Ilmu yang Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk,
Olehnya itu, dapat ditarik kesimpulan tentang makna sesungguhnya ontology ketika kita coba menarik makna dari sudut pandang Islami sebagai mata rantai yang nyaris terlupakan dengan memberikan pengertian dasar Logos yang berarti Tuhan, jadi Ontologi disini mengandung pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan.
4. Pandangan Ontology Berdasarkan Al-Qur’an
Sebelum kita mengemukakan sejumlah pandangan ontology berdasarkan al-quran, terlebih dahulu dikemukakan beberapa ayat al-quran sebagai landasannya sebagai berikut:
Sebelum kita mengemukakan sejumlah pandangan ontology berdasarkan al-quran, terlebih dahulu dikemukakan beberapa ayat al-quran sebagai landasannya sebagai berikut:
1.Q.s Al-hadid
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ ÇÌÈ
Artinya:“Dialah yang Awal dan
yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Hadid (57): 3).
[1452]
yang dimaksud dengan: yang Awal ialah, yang Telah ada sebelum segala
sesuatu ada, yang Akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah,
yang Zhahir ialah, yang nyata adanya Karena banyak bukti- buktinya dan yang
Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal.
2.Q.s Az-Zumar
ª!$# ß,Î=»yz Èe@à2 &äóÓx« ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ×@Ï.ur ÇÏËÈ
Artinya: “Allah menciptakan segala
sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu. “(QS. Az Zumar (39): 62).
3.Q.s At-Thalaq
3.Q.s At-Thalaq
Artinya: “Allah-lah yang
menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS.
At-Thalaq (65): 12).
Dengan tidak melepaskan diri dari landasan Al-Qur’an di atas dapat dikatakan bahwa sejauh kita akan berbicara mengenai hakekat realitas sebagai realitas ciptaan Allah, maka pertama-tama, ia harus berangkat dari doktrin keniscayaan adanya pencipta sebagai sebab keterciptaannya. Sudah barang tentu, pencipta bukanlah ciptaan itu sendiri, sebab hal tersebut adalah mustahil. Selain itu, juga barang tentu pencipta adalah sesuatu yang transenden (mengatasi) ciptaan, sebab adalah mustahil sesuatu yang lebih sederhana akan menyebabkan keterciptaan sesuatu yang mengatasi (transenden terhadap) dirinya sendiri.
Sebenarnya, jika kita berpijak pada Al-Qur’an dalam membangun pikiran ontologism, maka segala sesuatu selain Al-Khaliq (Pencipta) adalah Makhluq (ciptaan). Hal ini dikenal dengan satu doktrin primum principium yang diistilahkan dengan doktrin “ke-Khaliqmakhluqan”. Dari sinilah landasan pemikiran ontologys kita yang Islami/Qurani dibangun. Dalam hal ini, Realitas itu sesungguhnya berlapis-lapis. Lapisan pertama adalah Tuhan dan ciptaann-Nya adalah manifestasi dari realitas-realitas yang lain.
Atas dasar itulah, lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam pembicaraan mengenai realitas (alam) Allah memberi petunjuk eksplisit bahwa ada realitas syahadah (realitas yang dapat dipahami karena adanya ciptan-Nya yang maujud secara syahadah (bendawi) tunduk dan berpijak pada hukum-hukum alam bendawi dan potensial dipersepsi secara inderawi) dan ada realitas gaib (realitas yang juga dapat dipahami, tetapi bukan karena adanya sebagai wujud secara bendawi atau dapat dipersepsi dengan indra lahiri). Karena itu, bertitik tolak dari petunjuk ini, maka dimensi-dimensi yang digunakan sebagai ukuran untuk memahami hakikat realitas tidak bisa secara ekstrim menggunakan satu untuk seluruh entitas pembentuk realitas.
Pandangan ontologys tersebut melahirkan pandangan mengenai obyek materi ilmu dengan pernyataan singkat sebagai berikut:
1. Obyek ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib
2. Membangun pengetahuan ilmiah mengenai alam tersebut dilakukan dengan acuan petunjuk Allah Swt sebagai penciptanya.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian adalah bahwa pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empiric atau fiscal tetapi juga mencakup dunia ruh. Diri manusia sendiri adalah miniatur semesta yang tidak hanya terdiri atas jasad tetapi juga hati, perasaan, jiwa dan ruh yang merupakan “bagian” dari Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan dan kegeniusan rasio tetapi harus dengan kesucian
Dengan tidak melepaskan diri dari landasan Al-Qur’an di atas dapat dikatakan bahwa sejauh kita akan berbicara mengenai hakekat realitas sebagai realitas ciptaan Allah, maka pertama-tama, ia harus berangkat dari doktrin keniscayaan adanya pencipta sebagai sebab keterciptaannya. Sudah barang tentu, pencipta bukanlah ciptaan itu sendiri, sebab hal tersebut adalah mustahil. Selain itu, juga barang tentu pencipta adalah sesuatu yang transenden (mengatasi) ciptaan, sebab adalah mustahil sesuatu yang lebih sederhana akan menyebabkan keterciptaan sesuatu yang mengatasi (transenden terhadap) dirinya sendiri.
Sebenarnya, jika kita berpijak pada Al-Qur’an dalam membangun pikiran ontologism, maka segala sesuatu selain Al-Khaliq (Pencipta) adalah Makhluq (ciptaan). Hal ini dikenal dengan satu doktrin primum principium yang diistilahkan dengan doktrin “ke-Khaliqmakhluqan”. Dari sinilah landasan pemikiran ontologys kita yang Islami/Qurani dibangun. Dalam hal ini, Realitas itu sesungguhnya berlapis-lapis. Lapisan pertama adalah Tuhan dan ciptaann-Nya adalah manifestasi dari realitas-realitas yang lain.
Atas dasar itulah, lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam pembicaraan mengenai realitas (alam) Allah memberi petunjuk eksplisit bahwa ada realitas syahadah (realitas yang dapat dipahami karena adanya ciptan-Nya yang maujud secara syahadah (bendawi) tunduk dan berpijak pada hukum-hukum alam bendawi dan potensial dipersepsi secara inderawi) dan ada realitas gaib (realitas yang juga dapat dipahami, tetapi bukan karena adanya sebagai wujud secara bendawi atau dapat dipersepsi dengan indra lahiri). Karena itu, bertitik tolak dari petunjuk ini, maka dimensi-dimensi yang digunakan sebagai ukuran untuk memahami hakikat realitas tidak bisa secara ekstrim menggunakan satu untuk seluruh entitas pembentuk realitas.
Pandangan ontologys tersebut melahirkan pandangan mengenai obyek materi ilmu dengan pernyataan singkat sebagai berikut:
1. Obyek ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib
2. Membangun pengetahuan ilmiah mengenai alam tersebut dilakukan dengan acuan petunjuk Allah Swt sebagai penciptanya.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian adalah bahwa pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empiric atau fiscal tetapi juga mencakup dunia ruh. Diri manusia sendiri adalah miniatur semesta yang tidak hanya terdiri atas jasad tetapi juga hati, perasaan, jiwa dan ruh yang merupakan “bagian” dari Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan dan kegeniusan rasio tetapi harus dengan kesucian
2.Pengertian Aksiologi
Secara harfiah ,
aksiologi berasal dari dua kata, aksio (yunani)
yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai” Secara istilah,
aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau
dari sudut kefilsafatan. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi
adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai
(kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi
tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika.1
Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang nilai
(Value) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
sebagai suatu kesatuan menampakkan diri secara dimensional, yakni sebagai
masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk.
Istilah-istilah aksiologi
Pakar filsafat
pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan
keagamaan, kebudayaan, dan filsafat. Oleh karena itu umat Islam perlu
mengislamisasikan ilmu. Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai
mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang islami, maka ilmu
tersebut adalah “ilmu Islam” dan di luar itu tidak islami. batasan ilmu merujuk
pada hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan
sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish
Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan
itu netral. Menurutnya bahwa, ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang
sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan
atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang
memiliki dan menguasainya. Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas
mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi.3
Dalam aksiologi, ada
dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang
filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral.
Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika dibahas dalam sesi lain. yang jelas, estetika membicarakan tentang indah dan tidak indah.4
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika dibahas dalam sesi lain. yang jelas, estetika membicarakan tentang indah dan tidak indah.4
Nilai dari telaah
filsafat, menurut Damardjati Supadjar mencakup empat wilayah: keindahan
(estetika), kebaikan (etika), kebenaran (logika) dan kesakralan (agama).
Aksiologi juga meliputi nilai-nilai (value) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan. Maka ilmu harus digunakan
dan dimanfaatkan sebagai sarana dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta melestarikan keseimbangan alam.
Demi kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan
disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu
merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak
memanfaatkan menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak dapat
terbatas pada ras, ideologi, atau agama. Dengan demikian, ilmu tidak dapat
lepas dari nilai, terutama nilai moral, sehingga senantiasa tercipta
ketentraman dan kedamaian yang dibangun di atas asas kemaslahatan.
. Penggunaan aksiologi dalam Al-Qur’an
Dalam konteks kajian
ini, Al-qur’an memberi gambaran bahwa penciptaan alam semesta dan seisinya,
termasuk di dalamnya manusia, tidak dengansia-sia, melainkan dengan satu
tujuan, meskipun Al-Qur’an sendiri tidak menyatakan secara jelas, namun melalui
isyarat-isyarat yang dapat ditangkap oleh manusia. Misalnya Al-Qur’an secara
berulang-ulang menyebutkan bahwa langit dan bumi dengan segala yang ada di
antara keduanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, agar manusia mengabdi
kepada-Nya dan tidak menyombongkan diri.5
Manusia merupakan makhluk yang paling istimawa dibandingkan dengan makhluk yang
lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah
dikaruniainya akal. Dengan dikaruniainya akal, manusia dapat mengembangkab
bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Salain itu
manusia juga dilengkapi unsur lain yaitu qalbu (hati) dengan qalbunya manusia
dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan,
kenikmatan beriman dan kehadiran ilahi secara spiritual dari pendapat diatas
dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan
dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qalbu dan
potensi-potensi lain untuk digunaakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.6
Dan semua yang
diciptakan Allah itu ditundukkan untuk manusia. Dengan harapan bahwa, manusia
mampu memanfaatkannya dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di
muka bumi. Misalnya dalam ayat: “Dan kami tidak menjadikan langit dan bumi
serta segala yang ada di antara keduanya melainkan dengan kebenaran. Dan
sungguh hari kiamat pasti akan datang; maka maafkanlah (mereka) dengan cara
baik” (Q.S. AL-Hijr [15]: 85);
juga ayat lain: “Dan Kami tidak
menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya dengan
main-main” (QS. Al-Anbiya’[2]:16).7
Beberapa hal yang
perlu digaris bawahi yang berkaitan dengan manusia, yaitu:
1.
manusia itu sangat beragam sekali, mulai dari
hakikatnya sebagai makhluk Allah SWT dan hakikatnya sebagai makhluk sosial.
Adapun penciptaan
manusia, Al-Qur’an sendiri memberi penggambaran bahwa tujuan penciptaan manusia
adalah untuk mengabdi dan menyembah Allah dan mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya di akhirat, sebagaimana di firmankan :
Yang
artArtinya :“Apakah kamu
mengira bahwa Kami menciptakan kamu (manusia) dengan sia-sia, dan sungguh kamu
akan kembalikan kepada Kami” (QS. AL-Mu’minun [23]:114);
juga ayat dijelaskan
Artinya :
“Dan tidaklah aku
menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah kepada-Ku (QS.
Al-Dzariyaat [51]:56)
Pertanggungjawaban
manusia atas perbuatannya di akhirat ini mendapat perhatian yang cukup besar di
dalam Al-Qur’an, karena hal itu termasuk bagian rukun iman yang ke enam, yakni
percaya kepada hari akhir. Misalnya difirmankan dalam ayat Al-Qur’an:
Artinya :“Maka, barang
siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji sawi-pun, niscaya kelak
diperlihatkan kepadanya” (QS. Al-Zalzalah[99]:7-8);
juga ayat lain:
Artinya:
“Sungguh setiap yang
di langit dan bumi tiada lain kecuali datang kepada Yang Maha Pengasih (Allah)
sebagai hamba; Dan sungguh merek telah dihitung (oleh-Nya) secara cermat, dan
setiap mereka (manusia) kelak pada hari kiamat datang kepada-Nya
sendiri-sendiri (untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya); sungguh
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh akan mendapatkan kasih dari Allah”
(QS. Maryam[19]: 93-96).
Bahkan dalam konteks
ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia tidak hanya sekedar untuk mencapai
kebenaran dan kemashlahatan hidup di dunia saja, melainkan lebih jauh dari itu
untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat, sebagaimana
difirmankan:
“Dan dari mereka ada
yang berkata: “Ya Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari api neraka” (QS. Al_baqarah [2] :
201):
juga ayat dijelaskan “Dan tidaklah kehidupan dunia melainkan hanya
kesenangan dan permainan, dan sungguh kehidupan akhiratlah yang penuh dengan
kehidupan, jikalau mereka mengerti”. (QS. AL-Ankabut[29] : 64)
Persoalan-Persoalan Aksiologi perspektif
Islam
Ilmu pengetahuan yang
dicapai oleh manusia haruslah bertujuan: pertama, untuk mencapai kebenaran
obyektif sesuai dengan kerangka dasar keilmuan, yang didalam Al-Qur’an
diungkapkan dengan tema faatba’a sababa
(untuk mengungkap hukum sebab dan akibat), yang kemudian di kenal sebagai hukum
kausalitas alam, yang oleh Al-Qur’an digambarkan tidak akan mengalami
pergantiandan perubahan, sebagaimana difirmankan:
“Maka kamu tidak akan mendapati pergantian
pada hukum Allah; Dan kamu tidak akan mendapati perubahan hukm Allah” (QS.
Fathir[35]: 43).
Kedua, untuk tujuan
kesejahteraan mansuia, yang oleh Al-Qur’an digunakan tema wa sakhkhara lakum (Kami tundukkan untuk kamu), bahkan lebih dari
itu untuk memakmurkan dunia sebagai khalifah. Misalnya dalam
ayat: “Dan dia telah menundukkan
untuk segala apa yang ada di langit dan di bumi; Sunggu yang demikian itu
benar-benar bukti bagi kaum yang berpikir” (QS. Al-Jathiyah [45] :13).
Dan yang ke tiga,
bahwa ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia, dalam pandangan Al-Qur’an
untuk diamalkan sebagai hamba Allah, sebagaimana yang difirmankan: “Kamu
berkata yang tidak kamu kerjakan adalah besar dosanya bagi Allah” (QS. Al-Saff,
[6]:3). Dan hikmah Arab banyak disebutkan tentang kewajiban mengamalkan ilmu
pengetahuan , diantaranya “Ilmu yang dtidakdiamalkanseperti pohon yang tak
berbuah”; “Orang berilmu yang tidak mengamalkannya, kelak diazab dalam kuburnya
sebelum para penyembah berhala”.
Lebih dari itu, Islam
juga mengatur bagaimana seseorang mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah
didapat, dan hendaknya sesuai dengan al-hal berikut ini: Pertama, harus tepat
sasaran, dan bertujuan untuk kemaslahatan manusia sesuai dengan spirit syari’at
Islam itu sendiri yang dibangun di atas azas maslahat (al_Masali al-mursalah),
sehingga ilmu pengetahuan menjadi sarat nilai dantidak bebas nilai. Kedua,
Tidak digunakan dalam rangka melanggar syari’at Islam, sehingga merugikan orang
lain, sebagaimana dikatakan: “Barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak
bertambah pula petunjuk Allah, niscaya ia semakin menjauh dari Allah”; Dan
dalam hikmah Arab disebutkan: “Ilmu pengetahuan tanpa agama menjadi buta, dan
agama tanpa ilmu pengetahuan menjadi lumpuh”. Dan yang ketiga, untuk tujuan kebaikan (islah)
menuju kehidupan yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih bermakna.
Misalnya difirmankan oleh Allah: “Jika kamu berbuat baik, maka (berarti) kamu
berbuat baik untuk dirimu sendiri, danjika kamu berbuat keburukan juga
(berarti) untuk dirimu sendiri” (QS. Al-Isra’[171]:7); juga difirmankan dalam
ayat. “Dan janganlah kamu mem buat kerusakan di bumi setelah diperbaiki, dan
bedoalah kepada-Nya dengan rasa khawatir dan tamak. Sungguh rahmat Allah sudah
dekat bagi orang-orang yang berbudi kebajikan (QS. Al-A’raf [7] :56)
3.Pengertian epistemology
Epistemologi
atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yag berurusan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasarr-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang di muliki.
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan pengetahuan pengenalannya ia dapat
mencapai realitas sebagaimana adanya.
Mereka
mengandaikan begitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, meskipundi
antara beberapa mereka menyarankan bahwa pengetahuan mengenai struktur
kenyataan dapat di munculkan dari sumber-sumber tertentuketimbang sumber-sumber
lainnya.
Baru
pada abad ke-5 SM baru muncul keraguan terhadap adanya kemungkinan itu, mereka
yang meragukan akan kemampuan manusia mengetahuai realitas adalah kaum sophis.
Para sophis bertanya, seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat
benra-benra merupakan kenyataan objektif, seberapa jauh pula merupakan
sumbangan subjektif manusa ? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai kodrat
sebagaimana adanya ? Sikap skeptis inilah yang megawali munculnya epistemologi.
Secara
garis besar ada dua aliran pokok epistemilogi. Pertama adalah idealisme, atau
lebih populerde ngan sebutan rasionalisme yaitu
suati aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea,
category, form sebagai sumber ilmu pengetahuan. Disini peran panca indera di
nomor duakan. Sedangkan aliran yag kedua dalah realism atau empirisme yang
lebih menekankan peran ilmu pengetahuan. Disini peran akal di nomorduakan.
Telah
di kemukakan sebelumnya bahwa ada dua aliran pokok dalam epistemologi yakni
rasionalinme dan empirisme hal ini menetukan dalam penemuan metode ilmu
pengetahuan dan dalam alquran telah di isyaratkan tentang metode ini
Pertama-tama
perlu di tekankan menghafal dan mengingat, hal ini tersirat dlam ayat berikut:
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Artinya:
“
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!
Setidaknya
ada dua hal yang perlu di perhatikan dalam ayat ini, Adam telah di ajari
tentang nama-nama benda menunujukkan proses belajar menghafal di lanjutkan
dengan proses mengingat dengan menyebur kembali nama-nama tersebut.
Pada
dasarnya metode pengembagan ilmu penegtahuan dalam al-quran adalah cara untuk
menemukan kembali kebenaran ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah baik
yang tersurat atau yang tersurat terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan
alam ( Ayat Al-Kauniyah ).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat
yang membahas tentang nilai (Value) sebagai imperative dalam penerapan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai suatu kesatuan menampakkan diri secara
dimensional, yakni sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk.
Al-qur’an memberi gambaran bahwa penciptaan
alam semesta dan seisinya, termasuk di dalamnya manusia, tidak dengansia-sia,
melainkan dengan satu tujuan, meskipun Al-Qur’an sendiri tidak menyatakan
secara jelas, namun melalui isyarat-isyarat yang dapat ditangkap oleh manusia.
Misalnya Al-Qur’an secara berulang-ulang menyebutkan bahwa langit dan bumi
dengan segala yang ada di antara keduanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah,
agar manusia mengabdi kepada-Nya dan tidak menyombongkan diri.
1. Filsafat Barat memandang ontology (objek materi ilmu) tidaklah
berkisar pada kerangka pencipta dan ciptaan, lebih kepada jangkauan inderawi
dalam kerangka ruang dan waktu (dunia belaka) yang diatur oleh hukum-hukum
keberadaan sehingga surga, neraka, malaikat, Tuhan dan nilai-nilai moral tidak
dimasukkan dalam pengetahuan ilmiah. Sedangkan Ontology berdasarkan Al-Qur’an
memandang segala sesuatu selain Al-Khaliq (Pencipta) adalah Makhluq (ciptaan)
dimana ciptaan Allah tunduk pada hukum-hukum keberadaan (Sunnatullah). Lebih
lanjut, objek ilmu adalh alam syahadah maupun alam gaib dan untuk membangun
pengetahuan ilmiah mengenai alam tersebut dilakukan dengan acuan petunjuk Allah
Swt, sebagai Penciptanya.
2. Kenyataan bahwa ada alam bendawi sebagai perwujudan dari alam syahadah (Filsafat Barat) dan ada alam non bendawi sebagai perwujudan alam gaib, tidak bisa dipungkiri sebagai suatu realitas. Demikian halnya terhadap keduanya ada alam ruh yang merupakan representasi dalam pikiran terhadap kedua alam tersebut juga tidak bisa dipungkiri
2. Kenyataan bahwa ada alam bendawi sebagai perwujudan dari alam syahadah (Filsafat Barat) dan ada alam non bendawi sebagai perwujudan alam gaib, tidak bisa dipungkiri sebagai suatu realitas. Demikian halnya terhadap keduanya ada alam ruh yang merupakan representasi dalam pikiran terhadap kedua alam tersebut juga tidak bisa dipungkiri
DAFTAR PUSTAKA
Imam
Syafi’i,Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an,2000-Hal.59
JaringSkripsi.Wordpress.com/2009/09/22/Ontologi
Tulisendu.Bligspot.com/2010/02/epistemologi.html
Yoniskusmardanaspd.blogspot.com/.../makalah-aksiologi-filsafat-ilmu
Hadi Masruri_filsafat sains dalam Al Qur’an, UIN Malang Press,
Malang, 2007,
Proft. Dr. Amsal
Bahktiar, M.A Edisi Revisi
Romdon , Ajaran
ontology aliran kebatinan, ( Jakarta : Rajawali press, ed. I cet. I 1996
DW. Hamlyn, History Of
Epistemology, dalam Paul Edwars, The Encyclopedia Of Philosophy, 1967 vol 3
Burhanuddin Sallam,
Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta : Reka Cipta, 1997 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar