MAKALAH
“PEMBAGIAN
HADITS”
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Pada
Jurusan Tarbiyah / PAI I Semester III
OLEH:
Kelompok 4
Rudini Harto
Dosen Pembimbing
Drs. Moh, S. Rahman,
M,Pd,I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) MANADO
TA/2012-2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan,
perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam
tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah
al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap
ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits
tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai
pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits
sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang
terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits
tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara
Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang
panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap
materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan
kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan
sebagai sumber ajaran agama.
Mengingat
banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga
upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak
masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat
diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya
syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena
mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh
karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran
perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Makalah
ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian
hadits ditinjau dari berbagai aspek
b.
Rumusan masalah
Dari latar belakang yang sudah dipaparkan oleh
pemakalah maka telah ditemukan beberapa rumusan masalah diantaranya:
A. Pembagian
hadits di lihat dari segi kuantitas.........................................?
B. Pembagian
hadits dari segi kualitas..................................................?
C. Pembagian
hadits berdasarkan penyandarannya atau sumbernya.....................?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas
•
Berdasarkan sedikit banyaknya rawi yang meriwayatkan hadits dibagi menjadi
tiga:
1.
Hadits Mutawatir
a.
Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah
mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan
yang lain.
Sedangkan
menurut istilah ialah:
“Suatu
hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits
mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut
adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari
permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap
tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits
mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada
pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang
terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita
secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan
dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak
mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian
hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan
keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi
diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang
melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan
pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu,
dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan
demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi
itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara
mutawatir.
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir
apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari
peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan
hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh
pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang
memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka
untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan
jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b.
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c.
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan
uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat
Al-Anfal ayat 65).
d.
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai
nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).”
(QS. Al-Anfal: 64).
3.
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat
seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan
bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu
Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu
Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan
dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti
Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri
al-Mutawatirah,
susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir,
susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c.
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu
daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang
diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan
bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan
kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits
mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti
tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari
hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
2.
Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi atau lebih.
3.
Hadits Ahad
a.
Pengertian hadits ahad
Menurut
Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah
pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita
itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya,
tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke
dalam hadits mutawatir: ”
Ada
juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
“Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul
syara-syarat mutawatir.”
b.
Faedah hadits ahad
Para ulama sependapat bahwa hadits ahad
tidak Qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan,
oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui
maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut
tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut
wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus
kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah
hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah
dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita
mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa
hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya
yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu
kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita
takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin
dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita
tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang
nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya,
kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan
yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita
dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat
berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia
muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B.
PembagianHaditst Berdasakan Kualitas :
•
Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
Syarat
hadits Sahih adalah
a.
Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
b.
Kedhabitan perawinya sempurna.
c.
Sanadnya bersambung
d.
Tidak ada cacat atau illat.
e.
Matannya tidak syaz atau janggal.
Hadits
sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar
berasal dari Rasulullah SA W. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama,
antara lain :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan
lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis
mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
2. Hadits Hasan
Syarat
hadits hasan adalah:
a.
Para perawinya adil.
b.
Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c.
Sanadnya bersambung.
d.
Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e.
Tidak ada cacat atau illat.
Menurut
bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah
:
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami
adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang
diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai
berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain
pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
3. Hadits Daif
Hadits
daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari
Rasulullah SAW.
Para
ulama memberi batasan bagi hadits daif :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak
menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat
hadits hasan.”
Jadi
hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan
juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat
hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut
bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C.
Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan
a. Dari segi bentuk atau wujud matannya,
hadits dapat dibagi lima macam;
1.
Qauli :Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2.
Fi’li :Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis
terhadap peraturan syariat
3.
Taqriri :Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan,
tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4.
Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5.
Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum
dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan
b. Dari penyandaran terhadap matan,
hadits dapat dibagi pada;
1.
Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2.
Mauquf:Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrir
3.
Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa perkataan,
perbuatan atau taqrir
4.
Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada
Allah dalam makna
5.
Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad,
sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa
D.
Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad
Pembagian
hadits berdasarkan sanad, yang ditinjau dari segi persambungan sanad, dan dari
segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat dikemukan
di bawah ini. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada
jenis-jenis.
a.
Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad
SAW
b.
Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi)
dalam sanad, dan terbagi lagi kepada
1.
Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad (mudawin)
2.
Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3.
Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada dua
ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4.
Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara
berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama
tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5.
Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda
E.
pembagian hadits menurut sandaraannya atau sanadnya
Hadits
menurut sandarannya terbagi menjadi dua, yaitu maqbul (diterima) dan mardud
(ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam,
yaitu :
1.
Hadits Qudsi
2.
Hadits Marfu’
3.
Hadits Mauquf
4.
Hadits Maqthu’
HADITS
QUDSI
Qusi menurut bahasa dinisbatkan pada
“Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya
pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan
Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala.
Bentuk-Bentuk
Periwayatan
Ada
dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya
dari Allah ‘azza wa jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah
berfirman : ”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan
dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu
saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,”Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan
hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia
mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
Perbedaan
Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an
1.
Al-Qur’an itu lafadhdan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya
dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
2.
Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca
hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.
3.
Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi
tidak disyaratkan mutawatir.
Perbedaan
Antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadits Nabawi disandarkan kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan oleh beliau, sedangkan
hadits qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu diikat
dengan sebutan Hadits Qudsi. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi
karena penisbatannya kepada Allah Yang Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi
disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Qudsi jumlahnya sedikit. Buku
yang terkenal mengenai hal ini adalah [I[Al-Ittihafaat As-Sunniyyah bil-Hadiits
Al-Qudsiyyah[/I] karya Abdur-Ra’uf Al-Munawi (103 H) yang berisi 272 hadits.
HADITS
MARFU
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim
maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”.
Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan
tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah
“sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun
secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu
shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’
(terputus).
Macam-Macamnya
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa
hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan
sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu :
marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah
isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’
karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya
1.
Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal
dengan itu.
2.
Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak
mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di
masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau
berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan
keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami
diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk
sunnah adalah melakukan begini”.
3.
Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah
melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
4.
Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada
celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu
‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat
pada perjalanan empat burud.
Burud
merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di
jaman itu (sekitar 80 km).
5.
Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah
melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak
menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
terhadap perbuatan itu.
6.
Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para
shahabat begini/demikian pada jamana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
7.
Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan
sifat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali
radliyallaahu ‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan
tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit
cerah, peramah, dan lemah lembut”.
8.
Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk
kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti
secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang
menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum
menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu
‘alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan
dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak
mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi
sebagai sesuatu yang marfu’.
HADITS
MAUQUF
Al-Mauquf berasal dari kata waqf yang
berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadits pada shahabat.
Hadits Mauquf menurut istilah adalah
“perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang
shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yangbersambung sanadnya
kepada Nabi ataupun tidak bersambung.
Contohnya
1.
Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali
bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu,”Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang
mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?”.
2.
Mauquf Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari,”Ibnu ‘Abbas menjadi
imam sedangkan dia (hanya) bertayamum”.
3.
Mauquf Taqriry : seperti perkataan seorang tabi’in : “Aku telah melakukan
demikian di depan seorang shahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Hadits
Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada hadits
mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama.
HADITS MAQTHU
Al-Maqthu’
artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah
adalah : “perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang
yang di bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Perbedaan antara Hadits Maqthu’ dan
Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan,
sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu’ itu
merupakan perkataan tabi’I atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya
bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan
tidak ada kaitannya dengan matan.
Sebagian ulama hadits – seperti Imam
Asy-Syafi’I dan Ath-Thabarani – menamakan Al-Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang
tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang tidak populer. Hal tersebut
terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits, kemudian
menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya
1.
Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri
tentang shalat di belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung
bid’ahnya”.
2.
Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin
Muhammad Al-Muntasyir,”Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan
keluarganya dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia
mereka”.
BAB
III
KESIMPULAN
Sebagai akhir pembahasan makalah ini,
kami selaku penulis dapat menyajikan kesimpulan umum sebagai berikut;
Pertama, dalam perkembangan masa hadits
dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing. Secara garis besar hadits dapat
dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga dapat dirumuskan, berdasarkan
diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan penisbahan matan dan
berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.
Kedua, munculnya fenomena penambahan,
perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat terdapat uncur positive dan lebih
banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari penambah penjelas dari kalimat
yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat keraguan sang pengkaji,
disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang perawi memang tidak
dabit, dan kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif, sehingga tidak sesuai
makna dan maksud sebenarnya.
Dengan munculnya fenomena diatas
memiliki dampak yang sangat bahaya,karena kadang-kadang berakibat menjadikan
sesuatu yang bukan hadits sebagai hadits, maka para ulama sangat keras
menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat
hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadits agar tergugah untuk lebih
berhati-hati dalam menelaah dan mengamalkan isi hadits sehingga dapat
membedakan mana yang termasuk bagian hadits dan yang bukan.
Dari sedikit banyaknya rawi yang
meriwayatkan hadits dibagi menjadi tiga yaitu :
o
Mutawatir
o
Aziz
o
Ahad
Berdasarkan
kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu
o
Shahih
o
Hasan
o
Dho’if
Syarat
hadits Sahih adalah
o
Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
o
Kedhabitan perawinya sempurna.
o
Sanadnya bersambung
o
Tidak ada cacat atau illat.
o
Matannya tidak syaz atau janggal.
Dari
segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam
o
Qauli
o
Fi’li
o
Taqriri
o
Qauni
o
Hammi
Tempat-Tempat
yang Diduga Terdapat Hadits Mauquf dan Maqthu’
Kebanyakan
ditemukan hadits mauquf dan maqthu’ dalam :
1.
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
2.
Mushannaf Abdurrazzaq.
3.
Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul-Mundzir.
DAFTAR
PUSTAKA
Endang
Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud
Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad
‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits:
Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-,
Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin
1977
————-,
Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin
Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
————,
Manhaj fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr 1998
Tengku
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki
Putra 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar